Sabtu, 26 Juni 2010

Poster Pertama is FAILED





Ini poster pertama dari kelompok Lima mata kuliah Tekkom yang bertema Banjir. Kenapa kita mengambil tema banjir karena kita prihatin dengan banjir yang melanda di Indonesia khususnya Kota Semarang dimana tempat kita kuliah di UNDIP Semarang. Kita sudah membuat poster ini dengan semaksimal mungkin tapi menurut sang dosen poster kelompok lima kurang baik karena letak Televisi kurang bagus menurut beliau bagusnya di taruh di tengah agar gambar jelas. Setelah itu kita kumpul lagi guna membahas poster ini dan hasilnya semua sepakat untuk mengganti poster dengan poster yang lebih baik lagi agar dapat persetujuan dari dosen.

Jumat, 25 Juni 2010

Kuliah Tekkom

Mata kuliah semester 2 dari jurusan Planologi Undip. Sebelumnya saya tidak tahu apa yang akan diajarkan pada mata kuliah ini. Menurut saya sebelumnya mata kuliah ini akan memberikan pelajaran komputer ketika saat di SMA. Tetapi setelah beberapa saat masuk kuliah dengan dosen pengajar saya diajarkan tentang bagaimana komunikasi dengan orang dan bagaimana komunikasi dengan orang lain melalui berbagai media. Dengan berjalannya waktu tugas diberikan seperti saat ini tugas poster dan membuat video. Dari tugas poster dosen pasti ingin melihat kretivitas mahasiswanya membuat poster itu dengan mengambil salah satu tema yang telah diberikan oleh dosen. Kalau dari membuat video, mahasiswa diajarkan untuk melatih kepercayaan diri di lingkungan sekitar ketika membuat video pastinya mahasiswa akan belajar untuk berbagai software agar hasil video menjadi maksimal

Kamis, 24 Juni 2010

Semarang Kaline Banjir


Semarang kaline banjir
jo sumelang, yen ra dipikir...


TEMBANG langgam Jawa yang pernah dinyanyikan pesinden ternama
dari Solo, Waljinah, itu mendekati kenyataan. Kota Semarang,
Ibu Kota Jawa Tengah, terkenal sering dilanda banjir. Dahulu
karena sungai (kali) yang meluap. Kini, meskipun telah
"dibuatkan" dua sungai besar penampungan dan pembuangan air
bah yang dinamakan Kali Banjir Kanal, banjir itu tetap
melanda.

Tak cuma sungai di Semarang yang banjir. Bahkan laut turut
banjir. "Jadi kini Semarang laute banjir. Tak sekadar kaline
banjir," ujar Wakil Ketua DPRD I Jateng, HA Karmani. Omongan
Karmani bukan kelakar. Tengoklah Kota Lama di dekat Pasar
Djohar yang ternama atau di sekitar Stasiun Tawang dan
Pelabuhan Tanjung Emas. Pasti ada air yang menggenang. Itu
bukan sisa hujan semalam serta banjir yang belum surut. Itu
genangan air yang disebut rob, banjir yang disebabkan pasang-
surut air laut yang tertinggal di daratan. Karena itu, air
banjir rob terasa payau dan lebih berdaya merusak dibanding
air banjir kiriman atau lokal.

Lokakarya pengendalian banjir dan rob yang diagendakan
Fakultas Teknik Universitas Diponegoro dan Pemda Kodya
Semarang menyimpulkan, banjir rob terjadi karena permukaan
tanah yang lebih rendah daripada muka air laut dan penurunan
permukaan tanah.

***

AIR rob lebih merusak dibanding banjir biasa. Ini diakui
warga perumahan Tanah Mas, satu kompleks elite di wilayah
utara Semarang. Perumahan yang dihuni awal tahun 1979 itu
sekitar sepuluh tahun terakhir ini menjadi wilayah langganan
banjir rob. Rob telah menjadikan keadaan berubah. Berkeliling
di kawasan perumahan yang terdiri sekitar 5.000 unit rumah
itu tak sulit mencari rumah yang rusak, porak-poranda.
Dindingnya yang kumuh tidak terawat, pecah-pecah, bahkan
nyaris runtuh. Rumah yang dulunya mewah terbengkalai,
ditinggalkan penghuni begitu saja.

Rumah-rumah yang masih dihuni memang lebih banyak. Bahkan
tutur Ny Hj Munira Suharto, Lurah Panggung Lor, yang
membawahi semua daerah perumahan Tanah Mas, sekitar 95 persen
rumah di kompleks itu sekarang masih dihuni, namun wajah
rumah lama sudah tak tampak lagi. Pemiliknya mesti merenovasi
agar rumah itu layak dihuni.

Sebagian besar rumah di perumahan Tanah Mas berubah menjadi
lebih rendah dibanding jalan yang ada di sekitarnya. Bahkan
ada yang sampai setengah meter lebih rendah dari jalan. Ini
tidak cuma terjadi pada sebuah bagian kompleks, tetapi merata
di setiap wilayah Tanah Mas. Ini terjadi, kata Ny Munira,
karena air rob sering menggenangi jalanan. Karena itu, warga
meninggikan jalan yang ada. Namun banjir rob tetap datang
juga, sehingga jalanannya juga semakin meninggi. Hal ini
berlangsung selama beberapa tahun sejak tahun 1988-an.
Akibatnya rumah-rumah di kawasan Tanah Mas mirip rumah di
bawah tanah.

***

BANJIR rob yang melanda Tanah Mas hampir tiap hari memang
telah merusak jalanan. Namun itu belum seberapa dibanding
penderitaan yang dialami penghuninya. Surya (60), seorang
warga yang menghuni Jl Tambak Mas menyatakan telah dua kali
menaikkan dinding rumahnya. Ini dilakukan, karena dinding
rumah itu amblas, masuk ke dalam tanah. "Jika rumah di sini
kelihatan lebih rendah dibanding jalan bukan hanya karena
jalannya ditinggikan. Tetapi juga karena rumahnya ambles.
Dulu waktu saya mulai tinggal di perumahan ini, sekitar lima
tahun lalu, pipa PAM masih kelihatan di permukaan tanah. Kini
pipa itu sudah terbenam sedalam 1,5 meter."

Ny Sugi (45), penghuni Jl Tambak Mas pun mengaku terpaksa
harus meninggikan dinding rumahnya agar tetap bisa
ditinggali. Dua kali ia harus meninggikan dinding rumah itu,
sekitar satu meter, sebab rumah yang ditinggalinya sejak
sepuluh tahun lalu tiba-tiba terasa teramat rendah. Selain
dilanda rob, kompleks itu juga mengalami masalah penurunan
permukaan tanah. Setiap tahunnya, tanah di wilayah Tanah Mas
amblas sekitar 7,5 cm. Sebab itu, bukan mustahil warga
meninggikan dinding rumahnya sampai satu meter agar tetap
bisa dihuni. "Tanah di perumahan Tanah Mas semula berupa
rawa-rawa yang diuruk (ditimbun tanah). Barangkali karena
kurang padat menimbunnya, tanah di sini turun lagi. Diduga
pada kedalaman tertentu penurunan itu akan berakhir," jelas
Bu Lurah.

***

NY Munira menuturkan, untuk mengatasi banjir rob semula tak
ada upaya terkoordinasi yang dilakukan warga. Mereka secara
sendiri-sendiri "membuang" air rob dari halaman rumahnya,
meninggikan tanah pekarangan, membuat "bendungan" pelindung
rumahnya serta meninggikan dinding rumah. Warga yang mampu,
sekitar 70 persen penguni perumahan Tanah Mas adalah WNI
(Warga Negara Indonesia) keturunan, dapat mudah "menghalau"
air rob dari rumahnya dengan berbagai upaya. Warga yang
kurang mampu menjadi korban. Akibatnya, sering terjadi cekcok
antar warga. Untuk mereka yang tidak betah, ya meninggalkan
rumahnya begitu saja. Apalagi rumah itu masih kredit dari
bank.

Baru pada awal tahun 1996 muncul kesadaran baru penghuni
Tanah Mas. Setelah hampir sepuluh tahun dilanda banjir rob
dan penurunan permukaan tanah, warga berswadaya membangun
pompa pengendali banjir. Sepuluh pompa pengendali dipasang di
seluruh penjuru Kompleks Tanah Mas. Pompa-pompa itu secara
otomatis membuang air bila ada rumah warga yang tergenang.

"Untuk mendirikan pompa pengendali banjir ini dibutuhkan
biaya sekitar Rp 355 juta. Hampir seluruh biaya itu
ditanggung warga Tanah Mas secara swadaya. Developer PT Tanah
Mas membantu pem-buatan rumah untuk pompa. Sedangkan bantuan
pemda seperti yang dijanjikan, sampai saat ini belum turun
juga," ungkap Lurah Panggung Lor. Pembangunan pompa
pengendali banjir di perumahan Tanah Mas menerapkan betul
prinsip pemerataan. Warga yang mampu menyumbang Rp 87.500 per
KK (Kepala Keluarga), sedang yang menghuni rumah tipe kecil,
paling rendah memberi kontribusi Rp 20.000 per KK. Setiap
bulan mereka masih ditarik lagi untuk biaya perawatan pompa
serta mengupah pegawai yang menjaganya, antara Rp 1.000 - Rp
1.500 per KK.

Sekarang tak tampak lagi genangan air rob di kompleks itu.
Warga yang dulu meninggalkan rumahnya, kini kembali
meninggalinya.

***

PROBLEMA rob dan penurunan permukaan tanah di Semarang
bukanlah masalah warga setempat saja. Subdirektorat
Hidrogeologi Geologi Tata Lingkungan (Bandung) tahun 1994
telah melakukan penelitian soal itu. Terungkap, penurunan
permukaan tanah di Semarang Utara dalam beberapa tahun ini
mencapai sekitar 20 cm. Penurunan permukaan tanah, antara
lain terlihat di Muara Kali Garang serta pesisir utara
Semarang, telah menyebabkan lantai bangunan retak-retak. Hal
ini diperburuk adanya intrusi air laut.

Penelitian yang dilaksanakan Pusat Penelitian Lingkungan
Hidup (PPLH) Undip bekerjasama dengan Bapedalda Kodya
Semarang tahun 1995 menunjukkan, intrusi air laut telah
sampai di wilayah Simpang Lima, Jrakah atau Pasar Djohar yang
terletak tak kurang dari 10 kilometer dari pantai. Dari hasil
ini dapat dibayangkan apa yang terjadi pada kompleks Tanah
Mas yang berada kurang satu kilometer dari pantai.

Terjadinya penurunan permukaan tanah di Semarang, genangan
air rob dan instrusi air laut sebenarnya tak terlepas dari
sejarah kota ini sendiri. Sejarawan Semarang, Amen Budiman
dalam bukunya Semarang Riwayatmu Dulu yang mengutip pendapat
pakar Geologi Belanda, Prof Dr Ir RW van Bemmelen
mengungkapkan, jalur pantai yang berupa tanah muda di
Semarang berkembang cepat: dua kilometer selama 2,5 abad.
Lima abad lalu diperkirakan "kota bawah" Semarang -termasuk
kawasan Simpanglima- masih berupa lautan. (xjb/tra)